Banjir bandang yang melanda tiga provinsi di Sumatera—Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh—meninggalkan luka mendalam. Puluhan ribu warga mengungsi, belasan nyawa melayang, dan puluhan orang masih dalam pencarian. Namun di balik air bah yang menggulung pemukiman, ada pemandangan yang mencengangkan: kayu-kayu gelondongan berukuran besar hanyut bersama arus, menghancurkan jembatan dan infrastruktur lainnya.
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Curah hujan memang tinggi—disebut sebagai yang tertinggi dalam beberapa puluh tahun terakhir. Tetapi kehadiran kayu gelondongan dalam jumlah masif menjadi bukti telanjang: ada kerusakan serius di hulu sungai. Ada tangan-tangan rakus yang telah mengoyak hutan, membuka lahan tanpa perhitungan matang, dan meninggalkan alam dalam kondisi rapuh.
Pertanyaannya kemudian: siapa yang bertanggung jawab? Dan mengapa bencana serupa terus berulang?
Banjir Berulang, Pelajaran yang Diabaikan
Ini bukan kali pertama Sumatera Utara dilanda bencana serupa. Pada November 2024, kabupaten-kabupaten seperti Deli Serdang, Padang Lawas, dan Tapanuli Selatan juga mengalami banjir bandang dan longsor. Laporan kerusakan hutan pun bermunculan, menunjukkan bahwa bencana ekologis ini semakin masif.
Ketika banjir datang, yang terbongkar bukan hanya tanah dan bebatuan, tetapi juga fakta tersembunyi tentang apa yang terjadi di daerah hulu. Masyarakat umum mungkin tidak tahu bahwa di sana telah terjadi penambangan liar, penebangan hutan tanpa izin, dan eksploitasi alam yang melampaui batas. Namun ketika air datang membawa kayu gelondongan dan lumpur, semua kebohongan itu terkuak.
Bencana ini membuktikan satu hal: teori konservasi dan pengelolaan berkelanjutan yang selama ini diagung-agungkan tidak berjalan di lapangan. Yang bekerja justru logika keuntungan sesaat—keruk sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.
Akar Masalah: Ketika Modal Menguasai Alam
Kerusakan hutan dan lingkungan di Sumatera tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang memberikan ruang luas bagi swasta untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Undang-Undang Minerba (Mineral dan Batubara) adalah contoh nyata bagaimana negara membuka pintu selebar-lebarnya bagi korporasi untuk mengeruk kekayaan alam.
Tabiat korporasi swasta sudah jelas: mengoptimalkan keuntungan sebesar-besarnya. Ketika mereka diberi izin mengelola tambang, hutan, atau lahan, yang terjadi bukanlah pengelolaan berkelanjutan, melainkan eksploitasi habis-habisan. Reklamasi lahan? Hanya di atas kertas. Perlindungan daerah tangkapan air? Diabaikan demi mengejar target produksi.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dan maraknya kolusi antara pengusaha dengan birokrat. Aparat yang seharusnya menjaga sumber daya alam justru ikut bermain dalam permainan kotor ini. Aturan yang semestinya ketat menjadi longgar. Yang seharusnya dilarang menjadi boleh. Yang seharusnya dibatasi 10 hektar menjadi 100 hektar.
Inilah wajah asli kapitalisme: sistem yang menempatkan keuntungan di atas segalanya, bahkan di atas keselamatan manusia dan kelestarian alam.
Politik Legislasi: Membuka Jalan bagi Kerakusan
Kerusakan lingkungan yang kita saksikan hari ini tidak bisa dilepaskan dari proses legislasi dalam sistem demokrasi. Undang-undang yang disahkan DPR seringkali lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada rakyat.
Mengapa? Karena dalam sistem demokrasi, lobi dan kepentingan modal sangat kuat. Perusahaan-perusahaan besar memiliki akses dan pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Hasilnya adalah regulasi yang permisif, memberikan izin eksploitasi tanpa pengawasan ketat, dan membiarkan kerusakan terjadi demi pertumbuhan ekonomi yang dianggap lebih penting.
Legislasi yang salah sejak awal akan melahirkan bencana di kemudian hari. Dan inilah yang terjadi. Banjir Sumatera adalah konsekuensi logis dari kebijakan yang melepaskan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta tanpa kontrol memadai.
Mensikapi Bencana dengan Kesabaran dan Kesadaran
Sebagai muslim, sikap pertama yang harus kita ambil ketika menghadapi bencana adalah kesabaran. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’ (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali).” (QS. Al-Baqarah: 155-156)
Bencana adalah ujian. Bagi mereka yang bersabar, Allah menjanjikan pengangkatan derajat dan penghapusan dosa. Rasulullah SAW bersabda bahwa ketika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya. Ujian itu, jika dihadapi dengan sabar dan tawakal, akan menjadi pembersih jiwa dan penambah pahala.
Namun kesabaran bukan berarti pasrah tanpa melakukan apa-apa. Kita juga harus mencari akar masalah dan mengambil pelajaran. Bencana ini mengajarkan bahwa ada kesalahan sistemik yang harus diperbaiki. Ada tindakan manusia yang merusak keseimbangan alam, dan itu harus dihentikan.
Solusi Islam: Kepemilikan Umum untuk Rakyat
Islam memiliki konsep yang sangat jelas tentang pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam yang vital bagi kehidupan rakyat—seperti hutan, tambang, air, dan energi—adalah kepemilikan umum (milk ‘ammah) yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan bahwa barang-barang yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Negara wajib mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik dan kesejahteraan.
Bagaimana Islam Mengatur Pemilik Modal?
Islam tidak melarang kepemilikan pribadi atau keberadaan pemilik modal. Namun, modal hanya boleh beroperasi di sektor kepemilikan pribadi (milk fardiyah), seperti perdagangan, industri manufaktur, jasa, dan pertanian individu.
Pemilik modal tidak boleh masuk ke sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak, gas, hutan lindung, dan daerah tangkapan air. Sektor ini harus dikelola langsung oleh negara melalui perusahaan negara.
Dengan mekanisme ini, negara dapat:
- Mengontrol eksploitasi agar tidak merusak lingkungan
- Menerapkan prinsip keberlanjutan tanpa tekanan profit jangka pendek
- Memastikan hasil pengelolaan kembali kepada rakyat
- Menegakkan aturan tanpa khawatir adanya kolusi dengan swasta
Negara tidak memiliki kepentingan untuk berlomba-lomba mengeruk keuntungan. Tujuannya adalah kemaslahatan rakyat dan kelestarian alam. Jika terjadi kerusakan, tanggung jawabnya jelas dan bisa diawasi oleh rakyat.
Pelajaran dari Banjir: Kerusakan Lingkungan adalah Kerusakan Sistem
Banjir Sumatera bukan hanya soal curah hujan tinggi. Ini adalah konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalistik yang mengizinkan eksploitasi alam demi keuntungan segelintir orang. Kerusakan lingkungan adalah cerminan dari kerusakan moral dan sistem pengelolaan sumber daya alam.
Beberapa poin penting yang harus kita catat:
- Kerusakan hutan di hulu adalah bukti lemahnya pengawasan negara
- Kolusi antara pengusaha dan birokrat memperparah situasi
- Undang-undang yang pro-korporasi membuka jalan bagi kerakusan modal
- Sistem kapitalisme tidak peduli pada kelestarian alam, yang penting untung
- Rakyat yang jadi korban, sementara pelaku eksploitasi bebas
Penutup: Saatnya Kembali pada Sistem yang Adil
Bencana banjir di Sumatera adalah peringatan keras bagi kita semua. Alam sedang berteriak, meminta kita untuk berhenti merusaknya. Namun selama sistem ekonomi yang rakus masih berkuasa, selama negara masih abai terhadap tanggung jawabnya, bencana serupa akan terus berulang.
Islam menawarkan solusi yang adil dan berkelanjutan: kembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada negara, larang korporasi swasta menguasainya, dan pastikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Hanya dengan sistem yang menempatkan kemaslahatan di atas keuntungan, kita bisa menghentikan siklus kerusakan ini.
Kepada para korban bencana, kita haturkan doa dan rasa prihatin yang mendalam. Semoga Allah memberikan kesabaran, kekuatan, dan ganti yang lebih baik. Dan semoga kita semua belajar dari musibah ini untuk memperbaiki sistem yang telah rusak.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar