Hujan deras yang mengguyur Sumatera beberapa waktu lalu bukan sekadar fenomena cuaca biasa. Banjir bandang yang melanda tiga provinsi besar—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—telah merenggut lebih dari 800 jiwa, ratusan orang hilang, dan ribuan lainnya mengungsi. Yang mengejutkan, banjir kali ini membawa gelondongan-gelondongan kayu berukuran besar yang menerjang pemukiman warga. Kayu-kayu itu bukan tercabut dari akarnya, melainkan sudah terpotong rapi—bukti nyata adanya pembalakan yang sistematis.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah ini murni bencana alam, ataukah ada campur tangan manusia di baliknya? Lebih jauh lagi, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan masif yang berujung pada bencana ini?
Pembalakan Legal yang Melegalkan Kehancuran
Dr. Arim Nasim, pakar ekonomi Islam, memberikan pandangan tegas bahwa bencana ini bukanlah sepenuhnya musibah. “Telah nampak kerusakan di daratan maupun di lautan akibat ulah tangan-tangan manusia,” kutipnya merujuk pada ayat Al-Qur’an yang menggambarkan kerusakan lingkungan sebagai konsekuensi perbuatan manusia.
Data mencengangkan terungkap: dalam kurun waktu 13-17 tahun terakhir, Indonesia kehilangan 2,4 juta hektar hutan. Yang paling mengkhawatirkan, 1,6 juta hektar di antaranya rusak pada masa pemerintahan sebelumnya. Penebangan hutan ini bukan dilakukan secara liar, melainkan dilegalkan melalui izin resmi pemerintah untuk dua kepentingan utama: pembukaan lahan kelapa sawit dan eksploitasi tambang.
“Ini bukan pembalakan liar, tapi pembalakan yang dilegalkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan izin untuk kepentingan ekonomi para oligarki,” tegas Dr. Arim.
Dua Keuntungan Berlipat bagi Oligarki
Skema keuntungan berlipat ganda tercipta dari pembalakan hutan ini. Pertama, kayu hasil tebangan dijual dengan keuntungan triliunan rupiah. Kedua, lahan bekas hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit atau area tambang yang menghasilkan keuntungan berlipat.
Indonesia kini menjadi negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Namun, ironi terjadi ketika harga minyak goreng melonjak tinggi. Rakyat harus mengantri panjang bahkan ada yang menjadi korban jiwa hanya untuk mendapatkan 1 liter minyak goreng dengan harga normal. Sementara itu, para kapitalis yang menguasai 60-70% perkebunan sawit berpesta pora dengan keuntungan yang fantastis.
“Oligarki menguasai sumber produksi, proses produksi, hingga pemasaran sawit. Rakyat yang seharusnya menikmati kekayaan alam sendiri justru menjadi korban,” ungkap Dr. Arim.
Sawit: Penyebab Banjir dan Kekeringan
Kelapa sawit memiliki karakteristik yang sangat merugikan lingkungan. Menurut ahli dari ITB, daya serap air pohon sawit hanya 40%, jauh di bawah hutan kayu yang mencapai 95%. Akibatnya, ketika hujan deras, air tidak terserap optimal dan menyebabkan banjir bandang.
Sebaliknya, saat musim kemarau, pohon sawit justru menyedot air dalam jumlah besar dari lingkungan sekitarnya. Kubangan air dan rawa yang dulu menjadi sumber kehidupan warga kini mengering. Kekeringan ini memicu kebakaran hutan yang kerap terjadi di Kalimantan dan Sumatera.
“Hujan atau kemarau, yang diuntungkan tetap oligarki. Rakyat yang menderita,” kata Dr. Arim menggambarkan ironi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Kolusi Penguasa dan Pengusaha
Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia menciptakan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha kapitalis. Para kapitalis mendanai kampanye politik, dan sebagai imbalannya, mereka mendapat izin eksploitasi sumber daya alam.
Bahkan lebih parah lagi, kini kapitalis itu sendiri yang menjadi penguasa. Tidak ada lagi jarak antara pengusaha dan penguasa—mereka adalah satu entitas yang sama. Istilah “peng-peng” (pengusaha-penguasa) menjadi realitas yang tidak bisa dibantah.
“Kalau dulu pengusaha ada di belakang menyetir penguasa, sekarang mereka sendiri yang nyetir. Mereka penguasa sekaligus pengusaha,” jelas Dr. Arim.
Izin-izin eksploitasi tambang dan pembukaan lahan pun dikeluarkan dengan mudah, termasuk di hutan lindung yang seharusnya dilindungi. Contoh nyata adalah di Sukabumi, di mana hutan lindung justru melindungi tambang—hutannya hanya di pinggiran, sementara di dalamnya rusak total akibat penambangan.
Rakyat Dijadikan Tameng dan Buruh Murah
Para oligarki kerap berargumen bahwa pembukaan tambang dan perkebunan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Namun, realitasnya adalah rakyat hanya dimanfaatkan sebagai buruh dengan upah rendah.
Pekerja mungkin digaji 2-2,5 juta rupiah per bulan, sementara pengusaha meraup keuntungan miliaran hingga triliunan rupiah. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memuaskan keserakahan segelintir orang.
Bahkan masyarakat lokal seperti di Raja Ampat dipaksa mendukung eksploitasi tambang karena dimiskinkan. Mereka tidak punya pilihan lain—jika tidak ikut, mereka akan kelaparan.
Peran Negara-Negara Barat dalam Penjarahan
Indonesia adalah negara dengan kerusakan hutan tercepat dan terbesar di dunia. Ironisnya, negara-negara Barat yang selama ini berteriak tentang kerusakan lingkungan di Indonesia justru adalah aktor utama di balik eksploitasi ini.
Perkebunan sawit terbesar di Kalimantan dimiliki oleh investor Amerika Serikat. Tambang nikel, emas, dan batubara juga dikuasai oleh perusahaan dari negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka bekerja sama dengan penguasa lokal yang bertindak sebagai “londo ireng”—penjajah berkulit hitam.
“Negara Barat itu lempar batu sembunyi tangan. Mereka yang merusak, tapi lewat LSM yang mereka bayar, mereka teriak bahwa Indonesia merusak lingkungan,” tegas Dr. Arim.
Negara-negara kapitalis memindahkan eksploitasi sumber daya alam ke negara berkembang agar lingkungan di negara mereka tetap asri. Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia harus menanggung kerusakan lingkungan yang masif.
Ekonomi Kapitalis vs Ekonomi Islam
Dalam sistem kapitalis, tujuan ekonomi adalah akumulasi modal dan keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli dampak lingkungan dan sosial. Prinsip ini menghasilkan keserakahan tanpa batas yang berujung pada kerusakan.
Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah, dan eksploitasi sumber daya alam adalah sarana untuk ibadah, bukan tujuan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan kemaslahatan umat, bukan keserakahan individu.
“Eksploitasi sumber daya alam harus untuk kesejahteraan rakyat. Buat apa tambang dieksplorasi kalau justru menyengsarakan dan membahayakan rakyat?” ujar Dr. Arim.
Bahkan dalam kondisi perang, Islam melarang merusak lingkungan tanpa alasan yang jelas. Rasulullah SAW mewanti-wanti agar tidak menebang pohon atau menghancurkan lingkungan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan perang. Apalagi dalam kondisi normal, menjaga kelestarian lingkungan adalah kewajiban.
Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Islam:
- Untuk Kemaslahatan Umat – Bukan untuk keserakahan individu atau kelompok
- Minimalisasi Kerusakan – Eksploitasi dilakukan dengan teknologi yang ramah lingkungan
- Keberkahan – Ketika aturan Allah diterapkan, akan muncul keberkahan bagi seluruh masyarakat
- Keadilan Distribusi – Hasil kekayaan alam harus dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang
Ulama yang Terlibat dalam Permainan Oligarki
Yang lebih memprihatinkan, sebagian ulama dan organisasi Islam juga terjebak dalam permainan oligarki. Mereka diberi akses ke bisnis tambang dengan dalih bahwa organisasi Islam memiliki kontribusi besar dalam kemerdekaan Indonesia.
“Ini hanya alat untuk membungkam. Ketika terjadi kerusakan, mereka tidak bisa protes karena mereka ikut terlibat,” kritik Dr. Arim.
Hadis Rasulullah menyebutkan ada dua kelompok yang menentukan baik-buruknya masyarakat: ulama dan umara (penguasa). Jika keduanya baik, masyarakat akan baik. Sebaliknya, jika keduanya rusak, masyarakat pun akan rusak. Realitas hari ini membuktikan kebenaran hadis tersebut.
Konflik internal dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia pun ujung-ujungnya berkutat pada urusan materi. Ini menunjukkan betapa mendalamnya penetrasi kapitalis dalam pemikiran sebagian tokoh agama.
Musibah bagi Rakyat, Azab bagi Penguasa
Dr. Arim membedakan perspektif terhadap bencana ini dari dua sudut. Bagi rakyat yang tidak berdaya, ini adalah musibah. Mereka terkena dampak dari kebijakan yang tidak mereka buat. Seharusnya mereka mendapat bantuan dan dukungan penuh dari pemerintah.
Namun, bagi penguasa dan oligarki yang memberikan izin eksploitasi, ini adalah azab. Mereka yang serakah dan menjarah hutan untuk kepentingan pribadi kini mendapat peringatan dari Allah melalui bencana ini.
“Kerusakan bencana sudah berulang kali kita saksikan. Apakah belum saatnya kita sadar bahwa penyebab kerusakan ini karena kita berpaling dari aturan Allah?” tanya Dr. Arim menggugah.
Penutup
Banjir Sumatera dengan ratusan korban jiwa adalah cermin dari kerusakan sistemik yang terjadi akibat keserakahan manusia. Pembalakan hutan untuk sawit dan tambang, kolusi antara penguasa dan oligarki, serta sistem kapitalis yang mengedepankan keuntungan di atas segalanya telah menghasilkan bencana yang berulang.
Solusinya bukan sekadar bantuan darurat atau rehabilitasi lingkungan yang parsial. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam—dari yang berorientasi pada keserakahan individu menjadi orientasi pada kemaslahatan umat.
Islam menawarkan sistem ekonomi dan politik yang adil, di mana sumber daya alam dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat dalam naungan syariat yang komprehensif. Hanya dengan kembali kepada aturan Allah secara menyeluruh, Indonesia bisa terlepas dari lingkaran bencana yang terus berulang.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar