Pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin tentang keberadaan bandara tanpa perangkat negara di Indonesia sontak mengejutkan publik. Bagaimana mungkin sebuah bandara bisa beroperasi selama 6 tahun tanpa pengawasan cukai, imigrasi, dan karantina? Kasus ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan betapa rapuhnya kedaulatan negara ketika berhadapan dengan kepentingan investasi.
Bandara yang disebut-sebut berada di kawasan Morowali, Sulawesi Tengah, konon telah diresmikan sejak 2019. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama rentang waktu itu, berapa banyak orang dan barang yang keluar masuk tanpa pengawasan? Siapa saja yang diuntungkan dari kelonggaran ini? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban tuntas dari pemerintah.
Pembiaran Sistemik yang Melibatkan Banyak Pihak
Menurut Ustaz Ismail Yusanto, kasus ini mengindikasikan adanya pembiaran sistemik yang melibatkan banyak pihak. Sebuah bandara bukanlah infrastruktur kecil yang bisa luput dari pengawasan aparat. Ketika bandara beroperasi, pasti diketahui oleh pemerintah daerah hingga pusat.
“Bandara itu bukan barang kecil. Ketika dia beroperasi di suatu tempat, perangkat dari tingkat paling bawah hingga provinsi pasti tahu. Kenapa mereka diam?” ujar Ustaz Ismail dalam program Fokus to the Point.
Pembiaran ini, lanjutnya, biasanya tidak terjadi begitu saja. Di baliknya ada transaksi-transaksi yang melibatkan dana besar dan melibatkan banyak pihak. Ini adalah pola korupsi sistemik yang telah mengakar dalam tata kelola negara.
Ancaman Terhadap Kedaulatan
Tanpa kehadiran petugas cukai, imigrasi, dan karantina, bandara ini menjadi pintu masuk bebas bagi siapa saja dan barang apa saja. Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi ancaman serius terhadap keamanan nasional.
Potensi bahaya yang mengintai:
- Masuknya barang-barang ilegal tanpa pemeriksaan
- Keluar masuknya orang asing tanpa verifikasi identitas
- Penyelundupan yang merugikan negara
- Ancaman terorisme dan kejahatan transnasional
- Hilangnya potensi pendapatan negara dari bea cukai
Ustaz Ismail menekankan bahwa yang lebih mengkhawatirkan adalah apa yang telah terjadi selama 6 tahun tersebut. Perlu penyelidikan menyeluruh untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dan apa saja yang telah terjadi di bandara tersebut.
Investasi Bukan Alasan Mengorbankan Pengawasan
Beberapa pihak mungkin berargumen bahwa keberadaan bandara ini untuk mendukung investasi, khususnya kawasan industri di Morowali. Namun, apakah investasi harus mengorbankan pengawasan negara?
Ustaz Ismail menjelaskan bahwa investasi memang penting dan harus disambut baik. Negara memiliki keterbatasan, sehingga perlu dukungan swasta dalam pembangunan ekonomi. Namun, investasi tidak boleh mengorbankan segalanya.
“Investasi tidak boleh mengorbankan lingkungan, kemanusiaan, kedaulatan, dan ketertiban. Cukai penting untuk mengontrol barang yang masuk. Imigrasi penting untuk mengontrol orang yang keluar masuk. Ini tidak boleh dihapuskan atas nama investasi,” tegasnya.
Jika Investasi Legal, Tak Ada Masalah dengan Pengawasan
Logika sederhananya, jika sebuah investasi memang legal dan benar, maka tidak akan ada masalah dengan kehadiran petugas cukai dan imigrasi. Justru penolakan terhadap pengawasan ini menjadi indikasi kuat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Pengawasan negara melalui cukai, imigrasi, dan karantina adalah bentuk perlindungan terhadap kepentingan nasional. Ini bukan hambatan investasi, melainkan jaminan bahwa investasi tersebut tidak merugikan negara dan rakyat.
Kepemilikan Umum Tidak Boleh Dikuasai Swasta
Kasus bandara ilegal ini juga membuka diskusi lebih luas tentang pengelolaan sumber daya dan kepemilikan umum. Dalam pandangan Islam, kepemilikan umum seperti tambang, hutan, dan sumber daya strategis tidak boleh diserahkan kepada swasta.
Ustaz Ismail memberikan argumen yang menarik: “Kalau swasta saja bisa mengelola, apalagi negara. Swasta ketika butuh dana, meminjam kepada bank pemerintah. Apalagi negara yang memiliki seluruh perangkat, SDM, universitas, kewenangan, modal, dan struktur birokrasi.”
Bukti Negara Mampu Mengelola BUMN
Singapura menjadi contoh nyata bahwa BUMN bisa bersaing di tingkat global. Singapore Airlines, yang merupakan BUMN, tidak memiliki rute domestik namun langsung terjun ke penerbangan internasional dan menjadi salah satu maskapai terkemuka dunia. Singtel, operator telekomunikasi milik negara, juga terbukti mampu bersaing.
“Jadi sebenarnya ada keyakinan keliru yang mengatakan bahwa negara tidak boleh berbisnis, negara hanya mengatur saja. Itu dibantah oleh fakta di negara tetangga kita,” jelas Ustaz Ismail.
Yang terjadi di Indonesia saat ini bukan negara tidak mampu, tetapi negara ditidakmampukan. BUMN sengaja dilemahkan untuk memberi ruang kepada swasta. Dan swasta itu seringkali adalah milik para penguasa atau kroni mereka.
Lingkaran Setan Pengusaha-Penguasa
Akar masalah sesungguhnya terletak pada fenomena “pengpeng” — pengusaha yang menjadi penguasa, atau penguasa yang menjadi pengusaha. Konflik kepentingan ini menciptakan lingkaran setan yang merusak tata kelola negara.
Dampak Konflik Kepentingan
Ketika penguasa sekaligus pengusaha, maka:
- Regulasi dibuat untuk kepentingan bisnis pribadi — Aturan yang seharusnya melindungi rakyat justru menguntungkan kelompok tertentu
- Kekuasaan digunakan untuk melindungi usaha — Penegakan hukum menjadi tumpul terhadap pelanggaran yang melibatkan pengusaha berpengaruh
- Pengawasan tidak berfungsi — Lembaga pengawas tidak berani bertindak karena tekanan politik
- Wakil rakyat dikendalikan pengusaha — Anggota legislatif yang dibiayai pengusaha membuat undang-undang untuk kepentingan pemberi dana
“Rusak, regulasi tidak akan jalan. Kalaupun ada, regulasi itu akan dibuat untuk kepentingan mereka,” kritik Ustaz Ismail.
Fenomena ini bahkan memicu kegeraman publik hingga ada yang mengajukan ke Mahkamah Konstitusi agar rakyat bisa memecat wakil rakyat yang tidak amanah.
Solusi: Kepemimpinan Kuat dan Aturan Jelas
Untuk memutus lingkaran setan ini, Ustaz Ismail menawarkan dua solusi mendasar:
1. Kepemimpinan yang Kuat dan Berintegritas
Diperlukan pemimpin yang tegas menghentikan konflik kepentingan. Jika seseorang ingin menjadi penguasa, maka harus melepaskan seluruh kepentingan bisnisnya. Sebaliknya, jika ingin menjadi pengusaha, maka tidak boleh memegang jabatan publik.
Kepemimpinan yang kuat akan berani mengambil keputusan demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elite. Kepemimpinan seperti ini tidak akan tunduk pada tekanan pengusaha atau kelompok kepentingan tertentu.
2. Aturan yang Jelas Berdasarkan Prinsip yang Benar
Aturan yang ada saat ini sudah banyak dikendalikan oleh para pengusaha melalui anggota legislatif yang mereka biayai. Karena itu, diperlukan sistem yang menempatkan kedaulatan bukan pada manusia, melainkan pada hukum yang benar dan adil.
Dalam perspektif Islam, kedaulatan ada di tangan syariat, bukan di tangan manusia atau kelompok tertentu. Dengan sistem ini, aturan dibuat untuk keadilan dan kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan elite.
Penutup
Kasus bandara ilegal di Morowali adalah alarm keras tentang krisis kedaulatan negara. Ketika investasi bisa mengabaikan pengawasan negara selama 6 tahun, ini menunjukkan betapa lemahnya kontrol pemerintah terhadap wilayahnya sendiri.
Investasi memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan rakyat. Negara harus memiliki kepemimpinan yang kuat untuk melindungi kepentingan nasional dan aturan yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Tanpa perubahan fundamental dalam sistem tata kelola negara, kasus serupa akan terus berulang. Sudah saatnya bangsa ini memilih: mau terus menjadi negara yang dikuasai elite pengusaha-penguasa, atau bangkit menjadi negara yang berdaulat dan melindungi rakyatnya.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar