Ahmed Rashid, seorang jurnalis dan pengamat politik Asia Tengah, dalam bukunya Jihad: The Rise of Militant Islam in Central Asia, mengemukakan pandangannya bahwa Hizb ut-Tahrir (HT) memiliki potensi untuk berubah menjadi kelompok militan. Pernyataan ini memancing berbagai tanggapan, baik dari kalangan pengamat maupun pendukung Hizb ut-Tahrir sendiri. Namun, benarkah analisis ini? Bagaimana fakta-fakta yang sebenarnya terkait dengan metode perjuangan Hizb ut-Tahrir?
Latar Belakang Ahmed Rashid dan Buku Jihad
Ahmed Rashid dikenal sebagai seorang jurnalis yang mendalami isu-isu politik di Asia Tengah, termasuk kebangkitan kelompok Islamis. Dalam bukunya, ia membahas berbagai kelompok yang dianggap berpotensi menimbulkan instabilitas di wilayah tersebut. Salah satu yang disorot adalah Hizb ut-Tahrir, organisasi politik global yang memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah melalui jalan dakwah intelektual dan politik.
Dalam analisisnya, Rashid berpendapat bahwa kondisi geopolitik dan tekanan terhadap Hizb ut-Tahrir dapat mendorong organisasi ini bertransformasi menjadi kelompok militan. Pendapat ini diangkat berdasarkan pengamatannya terhadap situasi Asia Tengah, di mana organisasi Islam seringkali ditekan secara represif oleh pemerintah otoriter.
Metode Perjuangan Hizb ut-Tahrir
Untuk menilai kebenaran klaim Rashid, penting memahami metode perjuangan Hizb ut-Tahrir. Sejak didirikan pada tahun 1953 oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Hizb ut-Tahrir secara konsisten menyatakan bahwa perjuangannya dilakukan tanpa kekerasan. Hizb ut-Tahrir menekankan tiga tahapan dalam dakwahnya:
- Pembinaan (Tatsqif): Membangun kader yang memahami Islam secara mendalam.
- Interaksi dengan Umat (Tafa’ul ma’a al-Ummah): Mengedukasi masyarakat untuk memahami urgensi penerapan syariat Islam.
- Penerapan Syariat (Istilam al-Hukm): Berusaha meraih kekuasaan secara damai untuk menegakkan syariat melalui Khilafah.
Hizb ut-Tahrir secara tegas menolak perjuangan melalui kekerasan atau aktivitas militer, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai publikasinya. Dalam konteks ini, pernyataan Rashid tidak sepenuhnya mencerminkan fakta mengenai metode perjuangan Hizb ut-Tahrir.
Pandangan Islam tentang Perjuangan Non-Militan
Islam mengajarkan bahwa perjuangan menegakkan kebenaran harus berdasarkan syariat. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini menunjukkan pentingnya dakwah melalui pendekatan yang damai, bukan dengan kekerasan.
Solusi Khilafah atas Tuduhan Ketidakadilan
Salah satu alasan munculnya tuduhan terhadap Hizb ut-Tahrir sebagai calon kelompok militan adalah ketakutan pemerintah otoriter terhadap gagasan Khilafah. Pemerintahan yang represif cenderung mengkriminalisasi gerakan politik Islam damai sebagai ancaman.
Namun, Hizb ut-Tahrir justru menawarkan solusi melalui penerapan syariat secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah. Dalam sistem Khilafah, penegakan hukum didasarkan pada syariat Islam, yang menjamin keadilan dan menghilangkan penindasan. Tidak ada kebutuhan untuk menggunakan kekerasan, karena perubahan dilakukan secara damai dengan dukungan umat.
Kesimpulan
Pernyataan Ahmed Rashid bahwa Hizb ut-Tahrir berpotensi menjadi kelompok militan tidak memiliki landasan yang kuat, mengingat metode perjuangan Hizb ut-Tahrir yang sejak awal menolak kekerasan. Sebaliknya, Hizb ut-Tahrir terus mengadvokasi perubahan sistemik melalui dakwah dan pendidikan politik.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat, diperlukan penerapan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Dengan cara ini, perjuangan untuk kebangkitan Islam akan tetap dalam koridor syariat, jauh dari kekerasan, dan berorientasi pada solusi nyata bagi umat manusia.