Ketika bencana banjir melanda Sumatera pada akhir November 2025 lalu, ratusan nyawa melayang, ratusan ribu jiwa mengungsi, dan jutaan populasi terdampak. Namun yang lebih memprihatinkan adalah tarik-ulur penetapan status bencana nasional di tingkat pusat. Ironi yang menyakitkan: negara tetangga lebih cepat mengulurkan bantuan dibanding pemerintah pusat sendiri.
Kondisi ini membawa kita pada satu pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya sebuah negara menangani bencana yang menimpa rakyatnya? Sejarah Islam mencatat dengan gamblang bagaimana khilafah—sebagai sistem pemerintahan yang menerapkan Islam secara menyeluruh—menjadi perisai dan pelindung umat saat bencana datang menerjang.
Mari kita telusuri jejak peradaban Islam dalam mengatasi bencana banjir, dari masa Rasulullah hingga era Khilafah Ustmani.
Islam: Rahmat bagi Semesta Alam
Sebelum membahas lebih jauh tentang penanganan bencana, kita perlu memahami prinsip dasar Islam sebagai sistem kehidupan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sistem kehidupan yang komprehensif. Setiap aspek kehidupan—termasuk penanganan bencana—memiliki aturan yang jelas dalam syariat Islam. Ketika Islam diterapkan secara menyeluruh melalui sistem khilafah, maka negara berfungsi sebagai junah (perisai) yang melindungi, menolong, dan mengayomi seluruh rakyatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang bangun paginya dan dia tidak memikirkan urusan kaum muslimin, maka sesungguhnya dia bukan bagian dari orang-orang beriman.” Hadits ini menjadi landasan kepedulian sosial yang tinggi dalam peradaban Islam.
Bencana Banjir di Era Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
Banjir Makkah Sebelum Kenabian
Sejarah mencatat, sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi pada usia 40 tahun, Kota Makkah pernah dilanda banjir bandang yang dahsyat. Air bah menggenangi Masjidil Haram hingga mencapai Baitullah Ka’bah. Akibatnya, dinding Ka’bah mengalami keretakan dan dikhawatirkan akan roboh.
Dalam Sirah Nabi karya Ibnu Hisyam disebutkan, orang-orang Quraisy menggelar sidang di Darun Nadwah (semacam parlemen mereka) untuk memutuskan pemugaran Ka’bah. Yang menarik, meski mereka adalah kaum musyrik, mereka menetapkan syarat ketat: dana renovasi Ka’bah harus berasal dari harta yang halal, bukan dari hasil riba, perjudian, atau kemaksiatan.
Walid bin Mughirah al-Makhzumi (ayahanda Khalid bin Walid) menjadi orang pertama yang merobohkan pondasi lama Ka’bah. Ketika ia sehat walafiat setelah melakukannya, orang-orang Quraisy meyakini bahwa Allah meridai upaya mereka.
Dalam peristiwa renovasi inilah, Muhammad al-Amin—yang saat itu belum menjadi Nabi—menunjukkan kebijaksanaannya dengan menyelesaikan perselisihan tentang penempatan Hajar Aswad tanpa pertumpahan darah.
Banjir di Era Umar bin Khattab
Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, banjir bandang kembali menerjang Makkah hingga menggenangi Masjidil Haram dan Ka’bah. Banjir ini dikenal dengan nama “Banjir Ummu Nasyal” karena salah satu korbannya adalah seorang wanita mukminah bernama Ummu Nasyal binti Ubaidah.
Khalifah Umar segera mengambil tindakan strategis dengan membangun tanggul pelindung untuk memecah aliran air deras yang mengarah ke Baitullah. Tanggul pertama dibangun di antara kediaman Abdullah bin Harits dan Aban bin Utsman bin Affan. Tanggul kedua dibangun di bagian bawah yang disebut “Raddam al-Usaid”.
Pembangunan infrastruktur ini bukan sekadar respons reaktif, melainkan upaya preventif jangka panjang untuk melindungi tanah suci dari ancaman banjir di masa mendatang.
Sistem Penanggulangan Bencana dalam Khilafah
Bagaimana sebenarnya khilafah Islam menangani bencana? Ada beberapa prinsip fundamental yang diterapkan:
1. Penetapan Status Bencana
Rasulullah dan para khalifah memiliki kebijaksanaan untuk menetapkan apakah suatu peristiwa merupakan persoalan individu, komunitas, ataukah qadiyah masyiriyah (problematika publik) yang menjadi tanggung jawab negara—setara dengan penetapan bencana nasional di era modern.
2. Alokasi Anggaran dari Baitul Mal
Khilafah mengalokasikan pos khusus dari Baitul Mal (kas negara) untuk penanggulangan bencana. Negara tidak menunggu donasi atau bantuan asing, melainkan langsung menggunakan sumber daya negara untuk menolong rakyat yang terdampak.
3. Mobilisasi Aparatur Negara
Para khalifah mengerahkan seluruh aparatur negara—gubernur, panglima, pejabat—untuk melakukan upaya proaktif:
- Sebelum bencana: Membangun infrastruktur pencegahan
- Saat bencana: Evakuasi dan penyelamatan korban
- Pasca bencana: Pemulihan dan pembangunan kembali
4. Penggalangan Partisipasi Umat
Masyarakat dilatih untuk peka dan peduli terhadap sesama. Rasulullah bersabda: “Tidaklah beriman seorang manusia pada saat tetangganya tertidur dalam keadaan kelaparan.”
Orang-orang kaya (kaum agnia) diminta untuk mendahulukan diri menyalurkan bantuan sebagai bentuk infak di jalan Allah.
5. Pembangunan Infrastruktur
Khilafah tidak hanya fokus pada penanganan darurat, tetapi juga membangun infrastruktur jangka panjang untuk mencegah bencana terulang dan mempercepat pemulihan.
Inovasi Infrastruktur Hidraulik Khilafah Bani Umayyah
Era Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Pada tahun 712 Masehi, terjadi banjir dahsyat yang dikenal sebagai “Banjir al-Muhabal” (banjir yang membingungkan). Banjir ini terjadi saat musim haji, menyapu jemaah yang sedang tawaf di sekeliling Ka’bah. Setelah banjir mereda, banyak jemaah mengalami gangguan pita suara akibat trauma dan syok.
Mendengar laporan ini, Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang berkuasa di Damaskus segera membangun infrastruktur pencegahan banjir berupa Raddam Bani Jumah (Tanggul Bani Jumah) dan Raddam Bani Quraish.
Yang lebih menakjubkan, khalifah secara khusus menghitung curah hujan sepanjang tahun di Makkah untuk memastikan tanggul yang dibangun efektif menanggulangi banjir susulan. Ini adalah bentuk perencanaan berbasis data yang sangat modern untuk zamannya.
Era Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik melanjutkan program pembangunan infrastruktur hidraulik. Beliau membangun:
- Bendungan dan waduk untuk kepentingan irigasi di Jazirah Arabia
- Sistem penanggulangan banjir di Makkah
- Waduk-waduk di wilayah Kufah dan Najaf (Mesopotamia, Irak)
Imarah Bani Umayyah di Andalusia
Di Andalusia (Spanyol), dari era Abdurrahman ad-Dakhil hingga Khalifah Abdurrahman an-Nasir, ibu kota Qurthubah (Kordoba) dilengkapi dengan:
- Kincir air
- Bendungan-bendungan
- Kanal-kanal di sepanjang Wadi al-Kabir (Sungai Besar, kini Guadalquivir)
Sistem hidraulik ini tidak hanya mencegah banjir, tetapi juga menyediakan air bersih bagi penduduk kota sepanjang tahun.
Kepedulian Khilafah Bani Abbasiyah
Infrastruktur Darb Zubaidah dan Ain Zubaidah
Khalifah Harun ar-Rasyid terkenal dengan kebiasaannya menunaikan haji setiap dua tahun sekali dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Dalam perjalanan tersebut, beliau melihat langsung kesulitan para jemaah haji.
Maka dibangunlah Darb Zubaidah—jalan raya yang menghubungkan Kufah hingga Makkah—dengan biaya dari permaisuri utama, Zubaidah binti Ja’far. Di sepanjang jalan ini dibangun pos-pos peristirahatan, sumur-sumur, dan fasilitas untuk jemaah.
Di Padang Arafah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun Ain Zubaidah (mata air Zubaidah), sebuah bendungan dan sistem pengairan untuk memenuhi kebutuhan air jemaah haji sekaligus mencegah banjir bandang. Hingga kini, jejak infrastruktur ini masih bisa dilihat bagi jamaah yang berkunjung ke Makkah.
Pembentukan Diwan al-Aqrah
Sejak era Khalifah al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid, khilafah mendirikan Diwan al-Aqrah (Departemen Pengairan). Lembaga ini bertugas:
- Merumuskan kebijakan pengelolaan air
- Membangun kanal dan sistem irigasi
- Mencegah bencana banjir dan kekeringan
Di bawah Diwan al-Aqrah, dibangunlah berbagai kanal di Baghdad dan sekitarnya:
- Kanal Nahr Isa
- Kanal al-Malik
- Kanal Sarsar
- Kanal Sarat
- Kanal Nahrawan yang menghubungkan Sungai Tigris hingga hilir Sungai Diyala
Sistem kanal ini—baik di atas maupun di bawah permukaan—menjadi solusi preventif yang sangat efektif mengatasi ancaman banjir.
Khilafah Ustmani: Teknologi Hidraulik Termaju
Banjir Istanbul Tahun 1490
Pada era Sultan Bayazid II (putra sang penakluk Fatih Sultan Mehmed), Istanbul dilanda banjir akibat curah hujan ekstrem. Sungai Ayamama dan Ali Baykoy meluap hingga menggenangi Masjid Raya Hagia Sophia.
Padahal secara geografis, Istanbul adalah kota perbukitan yang langsung berbatasan dengan perairan—Selat Tanduk Emas (Golden Horn), Selat Bosphorus, dan Laut Marmara. Bencana yang lebih sering terjadi di Istanbul adalah gempa bumi karena pertemuan lempeng Anatolia dan Eropa.
Banjir Tokat Tahun 1908
Bencana banjir terparah di era Ustmani terjadi di Tokat tahun 1908, menewaskan 223 jiwa. Sultan Khalifah Abdul Hamid II segera menetapkannya sebagai bencana negara (setara bencana nasional) dan menyalurkan bantuan berupa uang, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Sistem Bendungan Taksim dan Kirkçeşme
Untuk mencegah banjir berulang, para sultan Khilafah Ustmani membangun:
- Sistem Kirkçeşme: Empat bendungan besar di berbagai distrik
- Sistem Taksim: Tiga bendungan strategis
- Kanal-kanal distribusi air di seluruh kota
Teknologi hidraulik Ustmani ini menjadi model bagi kota-kota Eropa dalam pengelolaan air perkotaan.
Ketika Khilafah Ustmani Membantu Nusantara
Salah satu bukti paling mengharukan dari peran khilafah sebagai pelindung umat adalah bantuan Ustmani untuk Nusantara yang dilanda bencana.
Banjir Batavia Tahun 1916
Pada tahun 1916—di tengah Perang Dunia I (1914-1918)—Konsulat Ustmani di Batavia melaporkan bahwa ibu kota Hindia Belanda dilanda banjir dahsyat. Meski sedang berjuang dalam peperangan besar, Sultan Khalifah Mehmed V (Muhammad Rasyad) segera mengalokasikan dana dari kas negara.
Beliau mengirimkan 25.000 keping dinar emas untuk meringankan penderitaan kaum muslimin di Batavia. Jika dikonversi ke nilai sekarang (1 dinar = 4,25 gram emas, 1 gram emas = Rp2 juta), maka bantuan tersebut setara dengan Rp212,5 miliar!
Tsunami Krakatau Tahun 1883
Ketika Gunung Krakatau meletus pada 26-27 Agustus 1883—dengan kekuatan 30.000 kali bom atom Hiroshima—tsunami dahsyat melanda Selat Sunda. Sekitar 36.417 jiwa menjadi korban, terutama penduduk Banten dan Lampung.
Konsulat Ustmani di Batavia, Ali Galib Bey, segera berangkat ke lokasi bencana membawa bantuan dan menyampaikan pesan dari Sultan Khalifah Abdul Hamid II: “Sultan Khalifah pasti akan peduli dengan apa yang terjadi di antara umat Muhammad.”
Bantuan berupa donasi, obat-obatan, dan makanan disalurkan langsung kepada para korban. Inilah bukti nyata bahwa khilafah adalah pelindung umat di manapun mereka berada, bahkan di ujung dunia sekalipun.
Pelajaran Berharga dari Sejarah
1. Bencana sebagai Teguran Allah
Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata saat gempa mengguncang Madinah: “Wahai sekalian kaum muslimin, wahai penduduk Madinah, apakah ada di antara kalian yang telah bermaksiat kepada Allah hingga Allah menurunkan hukuman-Nya?”
Para sahabat segera beristighfar, dan gempa pun mereda. Ini mengajarkan kita bahwa bencana adalah pengingat untuk kembali kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, dan meningkatkan ketakwaan.
Allah berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
2. Pentingnya Regulasi Lingkungan
Meski pada era khilafah belum ada istilah “pembalakan liar” atau “deforestasi” seperti sekarang, Islam memiliki aturan ketat tentang pengelolaan sumber daya alam. Kisah Sunan Kudus yang membuka hutan di Jawa Tengah untuk membangun kota baru dilakukan dengan:
- Perencanaan tata kota yang matang
- Sistem drainase yang teratur
- Pembangunan infrastruktur pendukung
- Tidak merusak ekosistem secara berlebihan
Berbeda dengan kondisi sekarang di mana deforestasi masif menyebabkan banjir bandang yang menewaskan ratusan jiwa.
3. Mental Recovery Berbasis Iman
Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu saat menangani wabah Thaun Amwas di Palestina tidak hanya menerapkan karantina (lockdown) dan social distancing, tetapi juga melakukan mental recovery dengan:
- Menumbuhkan kesabaran menghadapi ujian
- Meyakinkan umat bahwa ujian sesuai kadar kemampuan
- Meningkatkan ketakwaan dan keimanan
Hasilnya, dalam waktu dua tahun, wabah berhasil diatasi tanpa kepanikan massal. Khalifah Umar memuji: “Seandainya kami memiliki banyak sosok seperti Amr bin Ash, sungguh kejayaan Islam akan sampai pada puncaknya.”
4. Negara sebagai Pelindung, Bukan Sekadar Administrator
Dalam sistem khilafah, negara adalah junah (perisai) yang wajib melindungi rakyatnya. Bukan sekadar administrator yang menunggu bencana terjadi baru bertindak.
Khalifah-khalifah Islam:
- Membangun infrastruktur preventif jauh sebelum bencana
- Menetapkan status bencana dengan cepat dan tepat
- Mengalokasikan anggaran tanpa tarik-ulur politik
- Mengerahkan seluruh aparatur untuk menolong rakyat
- Memastikan pemulihan jangka panjang
Kontras dengan Realitas Hari Ini
Mari kita bandingkan dengan kondisi bencana banjir Sumatera akhir 2025:
| Aspek | Era Khilafah | Era Sekarang |
| Penetapan Status | Cepat dan tegas | Tarik-ulur politik |
| Sumber Bantuan | Baitul Mal (kas negara) | Menunggu donasi dan bantuan asing |
| Kecepatan Respons | Langsung oleh khalifah | Negara tetangga lebih cepat |
| Fokus Penanganan | Preventif dan solutif | Reaktif |
| Infrastruktur | Dibangun jauh sebelumnya | Baru dipikirkan setelah bencana |
| Mental Recovery | Berbasis iman dan ketakwaan | Sekadar trauma counseling |
Ironi yang menyakitkan: ketika Khilafah Ustmani di Istanbul masih peduli dengan banjir di Batavia tahun 1916 dan tsunami Krakatau 1883, kini pemerintah pusat justru lamban merespons bencana di wilayahnya sendiri.
Kesimpulan: Khilafah adalah Solusi Nyata
Sejarah telah membuktikan dengan gamblang: khilafah Islam bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan sistem yang terbukti mampu menyelesaikan persoalan umat, termasuk dalam menghadapi bencana.
Dari era Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, hingga Ustmani—khilafah selalu menjadi perisai pelindung yang:
- Cepat dan tepat dalam menetapkan status bencana
- Proaktif membangun infrastruktur pencegahan
- Peduli kepada setiap jiwa rakyatnya tanpa pandang bulu
- Inovatif dalam mengembangkan teknologi hidraulik
- Komprehensif dalam penanganan: sebelum, saat, dan pasca bencana
Yang terpenting, khilafah menyadari bahwa bencana adalah teguran Allah. Maka penanganan bencana tidak hanya fokus pada aspek material, tetapi juga pemulihan spiritual dengan mengembalikan umat kepada ketaatan dan ketakwaan.
Di tengah bencana banjir Sumatera yang menelan ratusan korban jiwa, kita tidak hanya butuh bantuan logistik dan infrastruktur. Kita membutuhkan sistem yang benar-benar menjadikan Islam sebagai solusi—sistem yang menjadikan penguasa sebagai pelayan dan pelindung rakyat, bukan sekadar administrator yang sibuk dengan kalkulasi politik.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar