Pernahkah terpikir, bagaimana nasib para santri yang bertahun-tahun mondok tanpa sentuhan gadget? Sementara dunia luar bergerak cepat dengan teknologi, mereka justru hidup dalam lingkungan yang sangat membatasi akses digital. Apakah mereka akan tertinggal? Atau justru ada rahasia di balik pembatasan ini?
Pertanyaan ini menjadi keresahan banyak santri, terutama menjelang kelulusan. Mereka yang telah menghabiskan 6 tahun di pondok tanpa gadget, tiba-tiba harus bersiap menghadapi dunia yang serba digital. Ada yang akan melanjutkan ke Mesir, universitas, atau terjun langsung ke dunia kerja sebagai pedagang, pembicara, atau profesi lainnya. Kekhawatiran mereka sederhana namun fundamental: bisakah mereka mengejar ketertinggalan teknologi dengan cepat?
Teknologi: Berkah atau Ancaman Tersembunyi?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami sisi gelap dari teknologi yang jarang disadari. Kenyataannya, teknologi tanpa batasan justru menghilangkan fondasi berpikir manusia yang paling esensial.
Fenomena Brain Rot yang Mengkhawatirkan
Tahukah Anda bahwa “brain rot” dipilih sebagai Word of the Year 2024 versi Oxford Dictionary? Istilah ini bukan sekadar bahasa gaul semata. Berbagai penelitian jurnal ilmiah membuktikan bahwa generasi muda yang kecanduan teknologi mengalami penurunan kemampuan kognitif (cognitive decline) yang signifikan.
Riset menunjukkan bahwa rentang perhatian (attention span) pengguna internet Indonesia kini lebih pendek daripada ikan mas koki – hanya sekitar 8 detik! Bayangkan, makhluk dengan otak sekompleks manusia kalah fokus dibanding ikan hias.
Doom Scrolling: Jebakan yang Sudah Dinormalisasi
Praktik doom scrolling – menggulir layar tanpa henti – sudah menjadi fenomena yang dianggap wajar, padahal seharusnya tidak. Pengalaman nyata dari seorang lulusan IT yang kini menjadi YouTuber mengungkapkan bahwa 80% produktivitasnya hancur gara-gara ponsel.
Bahkan untuk menulis buku, ia harus mematikan ponsel sepenuhnya. Kenapa? Karena begitu ada akses internet, akan muncul godaan untuk mencari sumber, yang berujung pada browsing tanpa arah. Ia terperosok ke dalam spiral yang makin dalam, sampai lupa tujuan awal.
Lebih mengejutkan lagi, seseorang bisa scrolling tanpa sadar selama 1 jam penuh! Ini adalah tanda nyata kecanduan – ketika tidak memegang ponsel, rasanya ada yang salah. Makan harus sambil pegang ponsel, ke kamar mandi pun membawa ponsel.
Motif Tersembunyi di Balik Platform Digital
Perusahaan teknologi seperti Meta (Facebook, Instagram) mendapatkan pendapatan terbesar dari iklan, yang bergantung pada seberapa lama pengguna menghabiskan waktu di platform mereka.
Artinya apa? Seluruh tim pengembang dan produk mereka punya mandat mutlak: apapun yang dibuat harus membuat orang menempel ke layar. Inilah mengapa aplikasi-aplikasi tersebut dirancang sedemikian adiktif.
Jawaban Mengejutkan: Mengejar Teknologi Itu Mudah!
Setelah memahami bahaya teknologi tanpa fondasi, kini saatnya menjawab pertanyaan utama: seberapa cepat santri bisa mengejar ketertinggalan teknologi?
Jawabannya mengejutkan: sangat cepat, bahkan hanya dalam hitungan bulan!
Bukti Nyata dari Lapangan
Seorang lulusan IT dan Ilmu Komputer memberikan kesaksian menarik. Meskipun berlatar belakang teknik, ia justru terkenal sebagai YouTuber yang membahas:
- Keuangan (finance)
- Ekonomi
- Geopolitik
- Kritik pemerintahan
Ketika pertama kali belajar finance untuk membangun startup bernama “Ternak Uang”, ia berhasil menguasai ilmu setara CFE (Certified Financial Examiner) hanya dalam 3 bulan.
Pengalaman serupa terjadi ketika ia membangun startup fitness. Meski tidak pernah belajar formal, ia berhasil lolos ujian sertifikasi Sport Science Nutrition tanpa perlu membayar sertifikasinya – cukup dengan belajar mandiri karena rasa penasaran yang tinggi.
Kunci Utamanya: Fondasi yang Kuat
Yang terpenting bukan hard skill seperti menghafal rumus atau teori, melainkan hal-hal paling dasar: kebiasaan baik (habit), kemampuan konsisten, fokus, dan tidak mudah terdistraksi.
Inilah fondasi yang sulit dibangun namun sangat menentukan. Seperti atlet pelari 100 meter sprint yang hanya bertanding 10 detik, tapi latihannya bertahun-tahun. Yang lama itu membangun pondasinya, bukan mempelajari skill teknisnya.
Mengapa Santri Justru Memiliki Keunggulan?
1. Otak yang Lebih Prima
Menurut Dr. Aisyah Dahlan, pakar neurosains, setiap generasi dilahirkan dengan otak yang lebih kompeten dari generasi sebelumnya. Jika generasi lama seperti prosesor Intel Pentium 3, maka generasi muda seperti Intel Pentium 7 – jauh lebih tinggi kapasitasnya.
Santri yang dijauhkan dari brain rot digital justru memiliki otak yang lebih optimal. Mereka tidak mengalami stunting otak seperti generasi sebayanya yang kecanduan gadget.
2. Attention Span yang Unggul
Kemampuan fokus selama berjam-jam membaca kitab, menghafal Al-Quran, atau belajar bahasa Arab adalah aset yang sangat langka di era sekarang. Saat kebanyakan orang tidak bisa fokus lebih dari 8 detik, santri bisa bertahan 3-4 jam tanpa distraksi.
Bahkan fenomena sederhana seperti menonton film pun kini terganggu – banyak orang menonton sambil membuka WhatsApp atau media sosial. Padahal filmnya biasa saja, tapi karena tidak ada perhatian penuh, film terasa tidak menarik.
3. Kemampuan Bosan yang Justru Berharga
Kedengarannya aneh, tapi kemampuan untuk merasakan bosan adalah syarat dasar kreativitas. Anak zaman sekarang tidak pernah dibiarkan bosan karena selalu ada scrolling. Padahal dari kebosananlah muncul dorongan untuk berkreasi dan berinovasi.
4. Konsistensi dan Disiplin Tinggi
Bangun jam 4 pagi, tidur jam 10 malam, setiap hari selama 6 tahun – ini adalah modal yang tidak bisa dikerjakan oleh AI. Konsistensi semacam ini adalah fondasi karakter yang akan membedakan santri dari lulusan sekolah umum.
AI vs Manusia: Siapa yang Menang?
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dibuat untuk meniru manusia. Ironisnya, banyak manusia justru berusaha menjadi seperti AI – mekanis, otomatis, tanpa makna.
Yang akan memenangkan persaingan di masa depan bukanlah AI melawan manusia, melainkan manusia yang benar-benar menjadi manusia melawan manusia yang seperti mesin.
Apa itu Manusia yang Jadi Manusia?
Manusia sejati adalah yang:
- Memahami tujuan hidup dengan jelas
- Tahu untuk apa mencari uang
- Beraktivitas untuk tujuan yang lebih besar
- Tidak hanya mengejar dunia semata
- Memiliki kematangan emosi dan empati
- Mampu bersabar dan memahami makna kesabaran
Semua kualitas ini tidak bisa dikerjakan oleh AI. Ketika diminta untuk “bersabar”, AI tidak akan mengerti artinya. Ketika harus menghadapi anak didik yang bandel, robot tidak bisa menggantikan sentuhan guru yang penuh kebijaksanaan.
Analogi Fondasi Rumah: Pelajaran Berharga
Perhatikan proses pembangunan rumah. Pekerjaan paling berat, paling mahal, dan paling krusial adalah membangun fondasi. Namun ironisnya, fondasi tidak terlihat dan tidak pernah dikagumi.
Ketika orang berkunjung ke rumah mewah, mereka memuji desain eksterior, interior, atau furnitur. Tidak ada yang bertanya, “Wah, fondasinya keren banget!” Padahal fondasi itulah yang menentukan apa yang bisa dibangun di atasnya.
Sama halnya dengan pendidikan di pondok pesantren. 6 tahun tanpa gadget, rutinitas ketat, disiplin tinggi – semua itu adalah proses membangun fondasi yang tidak terlihat namun sangat menentukan masa depan.
Kesimpulan: Jangan Khawatir, Dunia Tidak Sesusah Itu
Bagi para santri yang khawatir tertinggal teknologi, pesan ini sangat penting: Anda akan bisa mengejar dalam waktu singkat.
Dengan fondasi yang sudah kuat – kemampuan fokus, konsistensi, disiplin, dan rasa penasaran yang terus dikembangkan – mempelajari teknologi atau bidang apapun menjadi sangat mudah. Akses informasi sudah sangat luas, yang dibutuhkan hanya waktu 3 bulan untuk menguasai satu bidang.
Yang paling penting justru fondasi yang sudah Anda miliki sekarang. Kemampuan membaca kitab 3 jam tanpa distraksi, belajar matematika 4 jam tanpa bosan, atau menghafal sampai lupa makan – itu adalah skill priceless yang tidak bisa dihargai dengan uang.
Ingatlah: manusia diciptakan dengan akal. Ketika akal dijaga dan diasah dengan baik, semua ilmu dunia bisa dipelajari. Sebaliknya, ketika akal dirusak oleh brain rot digital, bahkan hal sederhana pun sulit dilakukan.
Jadi, bersabarlah 6 tahun di pondok. Ketika fondasi sudah terbentuk, membangun “rumah” di atasnya – apapun itu, entah menjadi pengusaha, ulama, dosen, atau profesional lainnya – akan menjadi sangat mudah.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar