Beranda Sosial Ketika Anak Kita Menjadi Korban Bullying: Haruskah Melawan atau Melapor?
Sosial

Ketika Anak Kita Menjadi Korban Bullying: Haruskah Melawan atau Melapor?

Fenomena bullying kian memprihatinkan dengan dampak fatal bagi korban. Bagaimana Islam mengatur peran keluarga, masyarakat, dan negara dalam mencegah perundungan di sekolah?

Bagikan
bullying, perundungan, pendidikan anak, peran negara dalam Islam
Bagikan

Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan kasus perundungan yang terjadi di Blora, di mana seorang siswa SMP menjadi korban kekerasan di hadapan teman-temannya yang justru menjadikan hal tersebut sebagai tontonan. Belum hilang dari ingatan, tragedi di SMA 72 Jakarta menambah daftar panjang kasus bullying yang berakhir fatal—seorang korban perundungan membalas dendam hingga puluhan orang terluka akibat bom rakitan.

Fenomena perundungan bukan lagi sekadar “kenakalan remaja” biasa. Intensitas, frekuensi, dan dampaknya kini jauh lebih mengerikan dibanding puluhan tahun lalu. Pertanyaannya: apa yang salah dengan sistem kita hari ini?


Bullying Dulu dan Sekarang: Apa yang Berubah?

Perundungan sebenarnya bukan fenomena baru. Generasi sebelumnya juga mengalami hal serupa—entah itu “gencet-gencetan” di masa SMP, perpeloncoan saat ospek kampus, atau konflik senior-junior di organisasi kemahasiswaan. Namun ada perbedaan mendasar antara bullying dulu dan sekarang.

Karakteristik Bullying Masa Lalu:

  • Bersifat fisik dan langsung
  • Berakhir setelah konfrontasi selesai
  • Tidak ada dokumentasi digital
  • Dampak psikologis relatif terbatas
  • Pelaku dan korban bisa berdamai dengan cepat

Karakteristik Bullying Masa Kini:

  • Berlapis: fisik, verbal, dan digital (cyber bullying)
  • Terekam dan tersebar luas di media sosial
  • Meninggalkan beban mental jangka panjang
  • Mendorong korban melakukan tindakan ekstrem
  • Frekuensi dan intensitas jauh lebih tinggi

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat lebih dari 22.000 pengaduan terkait kasus perundungan. Angka ini hanya puncak gunung es—banyak kasus tidak pernah dilaporkan karena korban merasa malu atau takut.


Akar Masalah: Keluarga yang Tidak Baik-Baik Saja

Pelaku bullying bukan muncul dari ruang hampa. Mereka adalah produk dari lingkungan yang membentuknya, terutama keluarga. Ketika harmoni rumah tangga retak, anak-anak menjadi korban pertama.

Lingkaran Setan Kekerasan

Pola yang sering terjadi:

  1. Suami-istri memiliki konflik yang tidak terselesaikan
  2. Emosi negatif dilampiaskan kepada anak (pihak terlemah di rumah)
  3. Anak menerima kekerasan verbal atau fisik dari orang tua
  4. Anak mencari pelampiasan kepada orang yang lebih lemah di luar rumah
  5. Muncullah perilaku bullying sebagai bentuk kompensasi

Dalam kasus pengeboman di SMA 72 Jakarta, terungkap bahwa pelaku berasal dari keluarga yang tidak utuh—ibunya bekerja sebagai TKW di Malaysia, ayahnya sibuk mencari nafkah, sehingga anak tersebut praktis hidup sendiri. Tanpa bimbingan dan perhatian, ia larut dalam perundungan hingga memilih jalan ekstrem untuk membalas dendam.


Peran Media dan Teknologi dalam Memperburuk Keadaan

Tayangan televisi, film, dan terutama game online turut membentuk pola pikir anak tentang kekerasan. Konten yang menampilkan adegan brutal, pertarungan berdarah, atau balas dendam dengan cara sadis menjadi referensi perilaku bagi generasi muda.

Dampak Negatif Media:

  • Menormalisasi kekerasan sebagai solusi konflik
  • Memberikan tutorial praktis untuk menyakiti orang lain
  • Menumpulkan empati terhadap penderitaan orang lain
  • Menciptakan generasi yang marah terhadap kondisi sekitar

Kasus pengeboman SMA 72 membuktikan betapa mudahnya seorang remaja belajar merakit bom dari game online dan internet. Tanpa filter dan pendampingan, teknologi yang seharusnya membawa manfaat justru menjadi sumber bencana.


Masyarakat yang Permisif: Penonton Pasif Kekerasan

Perundungan di Blora yang disaksikan banyak siswa tanpa ada yang berani menghentikan menunjukkan betapa masyarakat kita telah menjadi begitu permisif terhadap kekerasan. Fenomena ini bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.

Di grup percakapan digital, satu orang bisa diserang habis-habisan oleh puluhan orang lain tanpa ada yang mencoba melerai. Budaya “nonton” dan “viral” lebih diutamakan daripada tanggung jawab moral untuk melindungi sesama.


Ketika Anak Anda Dibully: Melawan atau Melapor?

Sebagai orang tua, kita dihadapkan pada dilema: haruskah mengajarkan anak untuk melawan, atau justru melapor kepada pihak berwenang?

Pendekatan Melawan

Beberapa orang tua memilih mengajarkan anaknya untuk melawan ketika dibully, terutama jika perundungan sudah melampaui batas—seperti memaksa melakukan hal yang melanggar syariat. Misalnya kasus di Pradaluki di mana senior memaksa junior melakukan tindakan homoseksual, atau di Sumatera di mana kakak tingkat memerintahkan adik tingkat untuk saling berciuman.

Prinsipnya: daripada anak melanggar perintah Allah karena takut dibully, lebih baik ia melawan meskipun harus berhadapan dengan pelaku.

Pendekatan Melapor

Pilihan lain adalah mengajarkan anak untuk segera melapor kepada pihak sekolah atau orang tua. Pendekatan ini lebih aman secara fisik dan memberikan kesempatan kepada otoritas untuk menyelesaikan masalah secara sistemik.

Kedua pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan. Yang pasti, orang tua harus memberikan pemahaman kepada anak tentang batas-batas yang tidak boleh dilanggar, terutama yang berkaitan dengan akidah dan syariat Islam.


Negara yang Abai: Di Mana Peran Pemerintah?

Masalah terbesar dari fenomena bullying hari ini adalah absennya negara dalam menjalankan fungsi perlindungan terhadap rakyat. Negara modern sekuler hanya berfungsi sebagai fasilitator—menunggu ada laporan baru bertindak, bukan mencegah sejak awal.

Tiga Pilar Masyarakat Barat yang Gagal

Masyarakat Barat—yang menjadi model negara-negara sekuler—dibangun dengan tiga pilar yang justru menjadi akar masalah:

  1. Liberalisme: Kebebasan individu tanpa batas yang mengabaikan tanggung jawab sosial
  2. Permisivisme: Sikap serba boleh terhadap penyimpangan moral
  3. Penolakan Hukum Tuhan: Enggan menegakkan hukum yang bersumber dari syariat

Akibatnya, kekerasan, perundungan, dan berbagai bentuk kejahatan sosial tumbuh subur tanpa ada mekanisme pencegahan yang efektif.

Hukuman yang Tidak Membuat Jera

Sistem hukum yang ada tidak memberikan efek jera. Remaja yang menabrak hingga menyebabkan kematian hanya dihukum empat tahun penjara. Pelaku pembunuhan bisa divonis bebas dengan berbagai alasan teknis. Geng motor yang meresahkan ditangkap hari ini, besok sudah bebas berkeliaran lagi.

Ketika hukuman tidak sebanding dengan kejahatan, maka kejahatan akan terus berulang. Pelaku merasa aman karena sanksi yang ringan, sementara calon pelaku lain justru terinspirasi untuk melakukan hal serupa.


Islam: Solusi Komprehensif untuk Masalah Bullying

Islam menawarkan solusi menyeluruh yang menyentuh semua aspek kehidupan—individu, masyarakat, dan negara. Konsep negara dalam Islam sangat berbeda dengan negara sekuler modern.

Negara sebagai Pengembala Rakyat

Dalam Islam, negara berfungsi sebagai ri’ayatu ummati lil muslimin jami’an—pengurus urusan kaum muslimin secara menyeluruh. Khalifah atau kepala negara diibaratkan sebagai penggembala yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan, dan kebutuhan spiritual rakyatnya.

Contoh Historis Khalifah Umar bin Khattab:

  • Berkeliling setiap malam untuk memastikan kondisi rakyatnya
  • Mendengar percakapan antara ibu dan anak tentang susu yang dicampur air
  • Menangis khawatir jika ada kambing yang terpeleset di wilayahnya karena akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah
  • Mengutus 30.000 pasukan untuk menyelamatkan satu perempuan muslimah yang ditindas oleh orang Yahudi

Bukankah ini menunjukkan bahwa negara Islam benar-benar hadir hingga level yang paling kecil sekalipun?

Tiga Fungsi Negara Islam

  1. Membangun Ketakwaan Individu: Melalui pendidikan berbasis akidah yang kuat
  2. Menciptakan Kontrol Sosial: Masyarakat yang saling mengingatkan dalam kebaikan
  3. Menegakkan Hukum Syariat: Sanksi tegas bagi pelanggar untuk memberikan efek jera

Ketika ketiga fungsi ini berjalan, masalah seperti bullying bisa diminimalisir sejak akar. Bukan hanya menyelesaikan kasus demi kasus, tetapi mencegah munculnya kasus baru.


Pesan untuk Orang Tua: Tanggung Jawab yang Tidak Bisa Sendirian

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Wa liyakhsya alladziina law tarakuu min khalfihim dzurriyyatan dhi’aafan khaafuu ‘alaihim” – “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”

Tanggung jawab orang tua bukan hanya mendidik anak menjadi pribadi saleh, tetapi juga memperjuangkan terciptanya:

  • Lingkungan kondusif untuk tumbuh kembang anak
  • Masyarakat yang saleh yang saling menjaga
  • Negara yang menerapkan syariat sehingga memberikan “karpet merah” bagi generasi muslim

Kita tidak bisa berjuang sendirian. Tanpa sistem yang mendukung, upaya pendidikan karakter di rumah akan terus berhadapan dengan tekanan dari luar yang jauh lebih besar.


Penutup

Fenomena bullying yang semakin merajalela adalah alarm bagi kita semua. Ini bukan sekadar masalah individu atau keluarga, tetapi indikasi dari sistem yang gagal memberikan perlindungan dan keadilan.

Solusinya bukan dengan tambal sulam kebijakan, tetapi dengan kembali kepada sistem yang komprehensif—sistem yang telah terbukti mampu menciptakan peradaban gemilang selama 13 abad. Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama, dan dengan negara.

Ketika syariat Islam ditegakkan secara kaffah, bukan hanya masalah bullying yang teratasi, tetapi seluruh aspek kehidupan—ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial—akan mendapatkan berkah dari Allah. Karena sejatinya, menjalankan Islam bukan untuk mendapatkan manfaat duniawi semata, tetapi karena itulah perintah Allah yang harus kita tunaikan.

Wallahu a’lam bishawab.

Bagikan

Tinggalkan komentar