Kegelisahan masyarakat Indonesia kembali mencuat setelah DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada pertengahan November lalu. Berbeda dengan euforia yang biasanya menyertai lahirnya produk hukum baru, kali ini yang muncul justru kekhawatiran dan penolakan dari berbagai kalangan. Lantas, apa sebenarnya yang membuat KUHAP baru ini begitu kontroversial?
Afif Sholahudin, S.H., M.H., seorang pengacara senior yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal LBH Pelita Umat Jawa Barat, memberikan pandangan tajam tentang persoalan ini. Menurutnya, kekhawatiran masyarakat bukan tanpa alasan. Ada beberapa faktor mendasar yang membuat KUHAP baru ini berpotensi menimbulkan masalah besar bagi penegakan hukum di Indonesia.
Proses Pembahasan yang Terburu-Buru
Salah satu kritik utama terhadap KUHAP baru adalah proses pembahasannya yang dinilai terlalu cepat dan tergesa-gesa. Padahal, KUHAP merupakan instrumen hukum yang sangat krusial karena mengatur tata cara penegakan hukum pidana di Indonesia.
Afif menyoroti bahwa situasi politik yang rumit saat pembahasan KUHAP membuat banyak pihak khawatir adanya kepentingan-kepentingan yang menunggangi proses legislasi ini. Kekhawatiran ini bukan sekadar paranoia, mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa pengesahan undang-undang di Indonesia sering kali diwarnai oleh kepentingan oligarki dan kelompok tertentu.
Menariknya, meski RUU KUHAP sudah disetujui DPR, secara hukum produk ini belum sah karena belum ditandatangani oleh Presiden dan belum memiliki nomor undang-undang resmi. Ini membuka peluang bagi Presiden untuk tidak menandatanganinya, atau bahkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) jika ada desakan kuat dari masyarakat.
Perbedaan KUHP dan KUHAP: Apa yang Harus Dipahami?
Sebelum masuk lebih jauh, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara KUHP dan KUHAP, karena keduanya sering kali membingungkan masyarakat awam.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) adalah aturan yang menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan. KUHP baru sendiri sebenarnya sudah disahkan pada tahun 2023 sebagai UU Nomor 1 Tahun 2023 dan akan berlaku penuh pada Januari 2026.
Sementara itu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) mengatur tentang tata cara atau prosedur dalam menindak orang yang sudah terindikasi melakukan tindak pidana. Ini mencakup proses mulai dari pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, hingga persidangan.
Jika KUHP adalah “buku panduan kejahatan”, maka KUHAP adalah “panduan untuk menangkap dan mengadili pelaku kejahatan”. Keduanya saling terkait dan sama-sama penting dalam sistem peradilan pidana.
Kepolisian Indonesia: Terlalu Spesial?
Kritik paling tajam terhadap KUHAP baru adalah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada kepolisian, jauh melampaui lembaga penegak hukum lainnya. Afif menyebut fenomena ini dengan istilah yang menarik: “Polisi Indonesia itu terlalu spesial.”
Apa maksudnya? Berbeda dengan lembaga penegak hukum lain yang memiliki kewenangan terbatas, kepolisian Indonesia memiliki hampir semua kewenangan. Mari kita bandingkan:
- Hakim: Hanya bisa memutuskan perkara, tidak bisa turun ke lapangan
- Jaksa: Bisa menyidik dan menangkap, tetapi tidak memiliki kewenangan menggunakan senjata api
- TNI: Bisa menggunakan senjata api, tetapi tidak bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan kriminal
- Kepolisian: Bisa menyelidik, menyidik, menangkap, menahan, dan menggunakan senjata api
Dengan kata lain, kepolisian adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan lengkap dalam penegakan hukum. Dan KUHAP baru justru menambah kewenangan tersebut, termasuk kewenangan dalam tahap penyidikan yang sebelumnya juga melibatkan jaksa secara setara.
Rendahnya Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian
Yang membuat situasi ini semakin problematis adalah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian yang justru sedang menurun. Aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut reformasi Polri beberapa waktu lalu menjadi bukti nyata ketidakpuasan publik.
Afif mengingatkan: “Ketika satu institusi yang menjadi pelaksana utama KUHAP sedang rendah citranya, kemudian diberikan kewenangan yang lebih besar lagi, bayangkan betapa masyarakat merasa terancam.”
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Jika dengan kewenangan yang ada saat ini saja sudah banyak keluhan tentang penyalahgunaan wewenang, bagaimana jika kewenangan tersebut justru diperluas?
Yang lebih ironis lagi, pada tahun 2023, menurut World Internal Security and Police Index (WISPI), kepolisian Indonesia masuk tiga besar terbaik di dunia. Data ini justru dikecam banyak pihak karena dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan dikhawatirkan akan dijadikan pembenaran untuk memperluas kewenangan polisi.
Tingkat Kejahatan yang Mengkhawatirkan
Data kejahatan di Indonesia sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Menurut data Polri, jenis kejahatan yang paling tinggi adalah pencurian berat, disusul pencurian ringan, penganiayaan, dan baru kemudian narkotika.
Yang lebih memprihatinkan, berdasarkan data tahun 2024, Indonesia mencatat lebih dari 580 ribu kasus kejahatan. Artinya, setiap sekitar 60 detik, ada satu kejahatan yang terjadi di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua se-ASEAN untuk tingkat kejahatan, hanya di bawah Myanmar yang menempati peringkat pertama dunia.
Menariknya, tingkat kejahatan Indonesia hampir sama dengan Kamboja, negara yang sering dijadikan bahan ejekan karena maraknya kasus perdagangan manusia di sana. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda kondisinya dengan negara-negara yang sering kita anggap “rusak”.
Pasal-Pasal Kontroversial dalam KUHAP Baru
Selain soal kewenangan kepolisian, ada beberapa pasal dalam KUHAP baru yang menuai kontroversi:
1. Pasal tentang “Living Law” (Hukum yang Hidup di Masyarakat)
Konsep living law atau hukum adat yang hidup di masyarakat memang dimasukkan sebagai salah satu acuan dalam KUHAP baru. Masalahnya, tidak ada standar yang jelas tentang:
- Hukum adat mana yang dianggap resmi?
- Berapa lama suatu hukum adat harus diyakini agar bisa dijadikan acuan?
- Siapa yang berwenang menentukan validitas hukum adat tersebut?
Ketidakjelasan ini berbahaya karena bisa membuat arah penegakan hukum di Indonesia menjadi tidak pasti. Jika masyarakat di suatu daerah mayoritas sekuler, apakah hukumnya akan sekuler? Atau sebaliknya, jika mayoritas islami, apakah bisa membentuk hukum berbasis Islam?
2. Pasal 188: Larangan Penyebaran Paham yang Bertentangan dengan Pancasila
Pasal ini melarang penyebaran Marxisme dan “paham lain yang bertentangan dengan Pancasila”. Frasa “paham lain” inilah yang menjadi sangat bermasalah karena tidak ada penjelasan atau penafsiran yang jelas tentang paham apa saja yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Afif menekankan bahwa dalam hukum pidana, yang seharusnya dipidana adalah perbuatan atau tindakan, bukan pemikiran atau paham seseorang. Setiap orang seharusnya bebas berpikir dan memiliki paham apapun, selama tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain.
“Bagaimana bisa kita memidanakan suatu pemikiran? Paham itu tidak bisa diukur. Bagaimana membuktikan seseorang sudah paham atau belum? Bagaimana membuktikan dia menyebarkan paham atau tidak?” tanya Afif.
Ketidakjelasan ini membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, di mana seseorang bisa dijerat pasal ini hanya karena perbedaan pandangan politik atau ideologi.
Ketika Poligami Lebih Berat dari Perzinaan
Salah satu contoh absurditas dalam KUHP baru (yang terkait dengan pembahasan ini) adalah tentang hukuman poligami versus perzinaan.
Dalam KUHP baru, seseorang yang menikah lagi tanpa izin istri pertama dapat dipidana hingga 5 tahun penjara. Sementara itu, perzinaan hanya dihukum 1 tahun, bahkan dalam KUHP baru hukumannya dikurangi.
Logika hukum seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat. Seseorang yang ingin menikah secara sah justru mendapat hukuman lebih berat daripada orang yang berzina. Ini bisa mendorong orang untuk memilih berzina daripada poligami karena risikonya lebih kecil.
Oligarki di Balik Pembuatan Hukum
Afif tidak menampik adanya kepentingan oligarki dalam pembuatan KUHAP baru ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengesahan undang-undang di Indonesia sering kali diwarnai oleh pesanan dari kelompok oligarki.
“KUHP dan KUHAP termasuk undang-undang. Artinya bukan tidak mungkin ketika ada yang memesan,” ujar Afif dengan nada yang menyiratkan keprihatinan mendalam.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: siapa yang diuntungkan dengan pemberian kewenangan besar kepada kepolisian? Apakah ada kepentingan politik dan bisnis di baliknya?
Afif mengingatkan bahwa kepolisian tidak hanya bermain di ranah hukum, tetapi juga sering kali terlibat dalam politik dan bahkan bisnis. Ketika sebuah institusi dengan kewenangan sebesar ini memiliki kepentingan politik dan ekonomi, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis.
Solusi dari Perspektif Islam
Berbeda dengan sistem hukum konvensional yang ada saat ini, Afif menawarkan perspektif Islam sebagai alternatif solusi. Menurutnya, ada beberapa prinsip fundamental dalam sistem hukum Islam yang bisa menjadi jawaban atas kekacauan hukum di Indonesia:
1. Negara sebagai Pengurus Masyarakat
Dalam pandangan Islam, negara hadir bukan sekadar sebagai simbol, tetapi sebagai pengurus masyarakat yang sesungguhnya. Negara harus besar dan kuat untuk bisa mengurus masyarakat, bukan malah menyerahkan urusan masyarakat kepada swasta atau kelompok tertentu.
2. Standar Keadilan Berdasarkan Takwa
Dalam sistem hukum Islam, standar keadilan adalah ketakwaaan kepada Allah, bukan kepentingan kelompok atau individu tertentu. Ini berarti:
- Hukum dibuat berdasarkan perintah dan larangan Allah
- Penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus bertakwa
- Proses penegakan hukum harus sesuai dengan syariat Islam
Dengan standar takwa, mustahil ada hukum yang melegalkan kemaksiatan seperti judi, minuman keras, atau praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Sistem Hukum Pidana Islam yang Jelas
Islam memiliki sistem hukum pidana yang komprehensif:
- Hudud: Hukuman yang sudah ditentukan Allah secara rinci (seperti hukuman untuk pencurian, perzinaan, dll)
- Jinayat: Hukuman terkait tindak pidana terhadap badan atau harta
- Takzir: Hukuman yang ditentukan oleh kepala negara berdasarkan ijtihad
Sistem ini sudah teruji selama berabad-abad dan terbukti efektif dalam menegakkan keadilan.
4. Dukungan Tiga Pilar: Individu, Masyarakat, dan Negara
Afif menekankan bahwa hukum yang baik membutuhkan dukungan dari tiga pilar:
- Individu: Setiap orang harus memiliki kesadaran hukum dan keimanan yang kuat
- Masyarakat: Budaya amar makruf nahi mungkar harus hidup di tengah masyarakat
- Negara: Negara harus memiliki perangkat dan sistem hukum yang benar
Ketiga pilar ini dapat disingkat menjadi IMAN: Individu, Masyarakat, dan Negara. Ketika ketiganya rusak, maka perbaikan harus dilakukan secara sistemik, bukan parsial.
Negeri Super Bingung
Afif menggunakan istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini: “Negeri Super Bingung.”
Bingung karena ketika ingin menegakkan hukum, malah dianggap arogan. Tapi ketika tidak tegas, negara dianggap lemah. Bingung karena standar kebenaran hukum itu sendiri sudah tidak jelas. Bingung karena mau bergerak ke arah manapun, semuanya salah.
Kebingungan ini terjadi karena posisi dasar kita sudah salah sejak awal. Ketika fondasi hukum sudah rusak, maka bangunan di atasnya pasti akan ikut rusak, tidak peduli sebaik apapun niat para penegak hukumnya.
Penutup: Sebuah Refleksi
KUHAP baru yang akan berlaku pada Januari 2026 membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, ada upaya untuk memperbarui sistem hukum acara pidana yang sudah ketinggalan zaman. Di sisi lain, berbagai pasal kontroversial dan pemberian kewenangan super kepada kepolisian justru menimbulkan keresahan.
Yang lebih fundamental adalah pertanyaan: apakah hukum yang kita miliki saat ini benar-benar mampu menegakkan keadilan? Dengan tingkat kejahatan yang terus meningkat setiap tahun, dengan tingkat kepercayaan publik yang terus menurun, dan dengan berbagai kepentingan oligarki yang bermain di balik layar, jawabannya tampaknya adalah tidak.
Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya memperbaiki pasal demi pasal, tetapi berani mempertanyakan sistem secara menyeluruh. Karena ketika sistem sudah rusak, tidak ada gunanya memperbaiki bagian-bagian kecilnya. Yang dibutuhkan adalah pembaruan sistemik yang menyeluruh.
Dan bagi seorang Muslim, pilihan sebenarnya sudah jelas: kembali kepada sistem hukum yang diturunkan Allah, sistem yang terbukti mampu menegakkan keadilan sejati selama berabad-abad dalam sejarah peradaban Islam.
Wallahu a’lam bishawab.
Tinggalkan komentar